Menanti wujud gagasan Rumah Literasi Blora dari Alumni 82 SMA 1 Blora

Minggu, 01 Mei 2022 00:13 WIB
Foto: Gatot Aribowo

Nur Indriatno tengah menerangkan tentang gagasan mendirikan Rumah Literasi Blora.

Lulusan SMA 1 Blora angkatan tahun lulus 1982 tengah menggagas Rumah Literasi Blora, disingkat RuLi. Gagasan yang berawal dari angan-angan untuk mewarnai Blora dengan ruang sastra dan budaya. Bisa jadi tempat penggemblengan buat melahirkan banyak penulis dan sastrawan dari kalangan muda Blora.
Oleh : Gatot Aribowo

RUMAH Joglo yang terletak di ujung barat lorong 4 Jalan Nusantara Blora itu belum selesai direnovasi. Pintunya belum dibuat, meski beberapa bagian sudah selesai, termasuk pendapa dan kamar serta toillet. Rumah Joglo Herman, mereka menyebutnya merupakan warisan dari Suherman, seorang pendokumentasi sejarah Blora yang sempat membukukannya dengan judul buku Blora di Tengah Perjalanan. Herman adalah ayah dari Kusno Widodo, lulusan Geologi UGM kerja di pertambangan yang memiliki bakat menulis, diwarisi dari ayahnya.

Malam itu, Sabtu, 30 April 2022, Dodok—panggilan Kusno Widodo, mengundang teman-temannya, alumni SMA 1 Blora angkatan 1982 untuk tirakatan di rumah joglo tersebut, sekaligus mewacanakan gagasan mendirikan Rumah Literasi Blora. Meski baru wacana, karangan bunga ucapan selamat atas berdirinya Rumah Literasi Blolora berdatangan dari teman-temannya.

"Ini sebetulnya masih wacana, belum di-launching. Tapi karangan bunga ucapan selamat sudah berdatangan," kata Nur Indriatno, karib Dodok yang terdepan dalam menggagas RuLi.

Nonot, demikian teman-teman Nur Indriatno memanggilnya, menginginkan gagasan mendirikan RuLi tidak seperti gagasan yang terikat dengan birokrasi pada umumnya. Ia menginginkan sebuah kemandirian untuk mengembangkan literasi buat masyarakat Blora. Ada kemerdekaan yang ingin ia bangun dalam membuat RuLi. Bahkan konsep RuLi yang ingin dia kembangkan tak jauh beda saat Umbu Landu Paranggi melahirkan tokoh-tokoh di dunia sastra Indonesia.

"Umbu setelah melahirkan tokoh-tokoh yang terkenal, menghilang dan tak diketahui jejaknya," kata Nonot saat berbicara konsep RuLi kepada teman-teman alumninya.

Umbu yang disebut Nonot adalah seorang sastrawan yang menjadi gurunya Emha Ainun Najib, dikenal dengan Cak Nun saat menjalani kehidupan di Malioboro, Yogyakarta. Selain Cak Nun, ada penulis Iman Budhi Santosa, juga penyair Linus Suryadi AG. Umbu meninggal tanggal 6 April 2021 dalam usia 77 tahun.

"Jadi RuLi yang ingin kami kembangkan di Blora akan berbeda," kata Nonot dalam wawancara usai acara penyampaian gagasan mendirikan Rumah Literasi Blora di Rumah Joglo Herman tersebut.

Perbedaan ini salah satunya adalah mengadakan lomba penulisan yang nantinya akan dibukukan. Kendati demikian, workshop-workshop penulisan untuk anak-anak muda tak menutup kemungkinan dikerjakan.

"Intinya kami, alumni 82 SMA 1 Blora ingin menciptakan ruang dan menyediakan wahana untuk mewarnai Blora di bidang (sastra) budaya," imbuhnya.

Buku Iliad terjemahan Dodok

Ada yang menarik dalam penyampaian gagasan mendirikan RuLi yang dikemas dalam reuni kecil-kecilan lulusan 1982 SMA 1 Blora tersebut. Di tengah hadirin yang duduk melingkar, ada meja yang menyuguhkan tumpukan buku berjudul Iliad. Buku ini hasil terjemahan Dodok dari versi bahasa Inggris. Dodok memiliki 31 buku Iliad versi bahasa Inggris, yang 18 di antaranya dibaca secara intensif. Buku ini berkisah tentang perang Troya, sebuah mitologi Yunani.

"Saya menulis terjemahannya dalam kurun waktu satu tahun," kata Dodok.

Cukup lama memang menulisnya. Sebabnya Dodok memiliki kesibukan pekerjaan di pertambangan.

"Ini buku merupakan warisan dunia, ditulis 2.600 tahun lalu, yang mana saat penulisannya ketika kita, manusia, baru mengenal peradaban huruf-huruf," sebutnya. 

Dalam menerjemahkan buku ini, Dodok mendapat dukungan dari Prodi Magister Sastra di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Menurutnya, buku tersebut perlu dikenalkan kepada kalangan muda.

"Di Amerika, anak-anak sekolah sudah mengenal buku ini. Merupakan bacaan wajib di sana," katanya.

Buku ini diterjemahkan Dodok dalam 432 halaman, dengan editornya karibnya sendiri, Nonot. Di bagian awal, terdapat pengantar dari Aprinus Salam, Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM, yang berjudul Bahasa Cinta dalam Epos dan Elegi.