DUA pejabat pemerintahan, satunya dari Pemerintahan Kabupaten Blora dan satunya dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi naik ke panggung menerima sampur dari Margono, pramugari atau pengarah kelompok Seni Tayub Mustika Manis Jepon. Dua pejabat ini, masing-masing Iwan Setiyarso, Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Dinporabudpar) Kabupaten Blora dan Syamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat di kementerian tersebut ketiban sampur untuk ikut menari bersama 4 penari parogo joget. Tak ingin sendirian, Kepala Dinporabudpar meminta pramugari mengundang naik salah satu stafnya di Bidang Kebudayaan, Puri Dewi. Sementara pejabat kementerian yang mengajak serta istrinya ikut menonton pertunjukan rakyat ini, meminta pramugari untuk mengundangnya naik ikut menari.
Untuk melengkapi jumlah tamu yang ketiban sampur, pramugari juga mengundang masyarakat yang menonton untuk ikut naik ke panggung. Ada 10 orang yang sore itu ketiban sampur. Sepuluh orang ini mengelilingi 4 penari parogo joget, yakni Titin Sutinah, Nanik Wijayanti, Ayu Wulandari, dan Marmi Dayanti. Susunannya 4 di depan parogo joget, 4 di belakangnya, dan dua di sisi kanan dan kiri.
Ada 2 gending yang diikuti pejabat-pejabat tersebut. Sayangnya di gending kedua, Kepala Dinporabudpar tak lagi mengikuti. Mungkin lantaran kaku dalam berjoget, Iwan Setiyarso memilih berhenti setelah gending pertama. Padahal gending kedua, menurut Margono adalah andalan masyarakat Blora. Yakni gending Sepuluh Wolu.
Tayub ledek barangan, kata Margono, adalah seni tayub khas Kabupaten Blora. Disebut barangan lantaran seni tari pertunjukan ini kerap diundang dalam acara-acara hajatan.
"Kami, dari kelompok seni tayub Mustika Manis Kelurahan Jepon merasa terhormat diundang tampil dalam gelaran seni pertunjukan rakyat yang menjadi rangkaian festival budaya spiritual 2024 di Kabupaten Blora," kata Margono yang merupakan pengarah dari kelompok seni tayub tersebut.
Pertunjukan tayub ini menampilkan tak kurang dari 5 gending. Gending pertama hanya parogo joget. Gending kedua dan ketiga mengundang tamu kehormatan, dan gending berikutnya dinikmati masyarakat umum yang ikut menonton meramaikannya.
Parogo joget adalah sebutan penari atau ledek. Sementara ketiban sampur istilah untuk menyebut tamu yang diundang naik ke panggung menari bersama parogo joget.
Selain seni tayub, wayang krucil adalah seni pertunjukan khas Blora yang lain. Kelompok wayang krucil dari Sanggar Cahyo Sumirat dari Dukuh Pangkat, Desa Purwosari, Kecamatan Blora tampil berikutnya setelah seni pertunjukan tayub berlangsung satu jam lebih. Pertunjukan wayang krucil yang mengambil lakon Samin Surosentiko ini menampilkan dalang Ki Nuryanto. Ada 6 tokoh yang ditampilkan dalam bentuk wayangan ini. Ada tokoh Kapiten untuk merujuk Pemerintahan Hindia Belanda, Wedana dan Demang yang merupakan komprador atau orang pribumi yang menjadi antek dari Pemerintahan Hindia Belanda, Lek Suto dan Kang Naryo, serta Ki Samin Surosentika.
Alkisah terjadi percakapan antara Kapiten dengan Wedana dan Demang perihal menaikkan pajak untuk pribumi. Setelah itu percakapan antara Lek Suto dan Kang Naryo untuk mendiskusikan kebijakan tersebut yang berujung ngototnya Lek Suto untuk melawan dengan cara-cara kekerasan, namun berakhir kalah saat perkelahian dengan Demang yang menjadi antek pemerintah. Setelah kalah, Kang Naryo mengajak Lek Suto untuk menemui Ki Samin Surosentiko di Desa Ploso Kediren, Randublatung. Di sinilah keduanya mendapat ajaran-ajaran dari Ki Samin Surosentiko berupa aksi perlawanan tanpa kekerasan dan mengedepankan nilai-nilai moralitas kehidupan. Dari sini kemudian Kang Naryo dan Lek Suto pulang untuk menyebarkan ajaran-ajaran tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan penjajah. Kisah ditutup dengan penangkapan Ki Samin Surosentiko yang kemudian dibuang ke tanah seberang.
Dua pertunjukan ini selesai jelang magrib. Malamnya, seni pertunjukan rakyat akan dilanjutkan dengan jedoran dan barongan gaprak yang diperkirakan akan lebih menarik lebih banyak penonton.
Kepala Dinporabudpar Kabupaten Blora Iwan Setiyarso berharap festival tersebut dapat menjadi agenda rutinan tahunan yang bisa dijadikan daya tarik kunjungan wisata. Sayangnya, harapan ini tak akan terpenuhi. Pasalnya, Syamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat mengatakan, festival budaya spiritual tahun depan akan pindah ke tempat lain.
"Ini adalah kali kelima festival budaya spiritual yang kita langsungkan di Kabupaten Blora. Sebelumnya di Jakarta, Yogyakarta, dan Solo. Blora menjadi kelima karena kami melihat ada Sedulur Sikep Samin yang menjadi kepercayaan masyarakat di 6 kabupaten di Karesidenan Pati," katanya usai pertunjukan tayub dan wayang krucil.